Rabu, 29 Mei 2013

Masih perlukah Apel bagi PNS…..



Saat masih mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar (SD) saya bersama seluruh siswa lainnya mengikuti upacara bendera di setiap hari senin pagi. Bahkan dalam beberapa kesempatan, pelaksanaanya digabung dengan sekolah lainnya dengan petugas yang telah ditetapkan oleh sekolahnya masing-masing. Hal yang sama juga terjadi saat saya menimba ilmu di sekolah lanjutan pertama dan menengah.
Pengalaman yang saya alami selama mengikuti upacara bendera di sekolah antara lain menanamkan sikap dan perilaku disiplin siswa baik dari segi waktu belajar, pakaian seragam yang baik dan sopan, termasuk di dalamnya pemakain atribut sekolah dan kerapihan serta penataan rambut  seluruh siswa. Sdelain itu upacara bendera juga dijadikan sarana menyampaikan informasi-informasi terbaru yang dinilai dapat memberikan wawasan baru bagi para peserta didik.
Dalam beberapa kesempatan, upacara bendera juga dijadikan sarana untuk menampilkan kepiawaian beberapa siswa yang mewakili kelasnya dalam kerapihan serta kekompakan baris-berbaris sesaat sebelum dan sesudah menaikkan bendera merah putih yang juga diiringi lagu Indonesia raya yang dinyanyikan oleh teman-teman sekelas lainnya.
Memasuki masa kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri, saya hanya pernah sekali upacara bendera, itupun pelaksanaanya berbarengan dengan acara peringatan hari kemerdekaan Indonesia serta sekaligus mengawali rangkaian kegiatan pengenalan almamater bagi seluruh mahasiswa baru. Setelah itu selama masa kuliah hingga acara wisuda, saya tidak pernah lagi mengikuti upacara bendera. Karena tidak ada aturan yang mengharuskan mahasiswa, dosen serta civitas akademika lainnya melaksanakan upacara bendera maupun apel pagi.
Setelah menyelesaikan kuliah S1, saya lebih memilih masuk dunia kerja di banding melanjutkan ke jenjang pendidikan S2. Hal ini antara lain dengan pertimbangan ingin dapat hidup mandiri dengan penghasilan sendiri tanpa harus meminta uang lagi kepada orang tua. Terlebih selama kuliah pun orang tua cukup kerepotan dalam memenuhi  kebutuhan saya selama kuliah baik untuk keperluan sehari-hari maupun untuk biaya kuliah semisal bayar SPP dan keperluan membeli buku.
Selama bekerja di beberapa perusahaan dan lembaga swasta selama kurang lebih 7 tahun saya juga tidak pernah menyaksikan  apalagi diharuskan mengikuti kegiatan sejenis apel, apalagi upacara bendera. Untuk menyampaikan informasi-informasi penting yang berkaitan dengan kebijakan manajemen perusahaan, mereka lebih memilih mengadakan pertemuan atau meeting khusus yang sifatnya temporer. Sementara untuk mengukur dan mengevalusi kedisiplinan pegawai biasanya dilakukan penilaian berkala oleh pimpinannya masing-masing yang hasilnya akan berpengaruh serta menjadi salah satu pertimbangan dalam memperoleh kesempatan promosi jabatan, kenaikan gaji serta besarnya  bonus tahunan yang akan diterima.
Berbeda halnya saat saya diterima menjadi PNS dan bertugas di kantor Pengadilan Agama yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Setiap Senin pagi seluruh pegawai diharuskan mengikuti apel pagi.Hal yang sama jugaa terjadi di hampir sebagian instansi atau kantor pemerintahan. Baik yang dibawah kendali pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Dari beberapa kali mengikuti apel pagi, saya melihat polanya relatif monoton dan menjenuhkan, bahkan beberapa kali Pembina apel tidak meanyampaikan informasi apapun. “Berhubung tidak ada yang mau disampaikan, maka apel pagi bisa segera dibubarkan..” demikian kata samabutan yang disampaikan oleh Pembina apel ketika tidak ada informasi yang disampaikan. Selebihnya apel pagi hanya sekedar menghitung jumlah peserta apel dan penghormatan kepada Pembina apel. Kalaupun ada informasi yang sangat penting, biasanya hanya disampaikan sepintas saja, selanjutnya diadakan pertemuan kembali dalam bentuk rapat khusus guna menyampaikan informasi penting tersebut secara lebih lengkap dan lebih jelas.
Berdasarkan gambaran empiris di atas saya berpendapat pelaksanaan apel pagi -walaupun dilaksanakan dalam waktu yang tidak begitu lama- perlu ditinjau ulang, bahkan bila perlu ditiadakan. Apalagi jika hanya  bertujuan untuk melihat dan mengukur kedisiplinan serta kinerja pegawai serta sebagai sarana menyampaikan informasi kepada para pegawai. Apalagi jika waktunya berbenturan dengan waktu pelayanan atau terhadap masyarakat seperi mereka yang bertugas di rumah sakit umum, kantor imigrasi, pengadilan, dan lain sebagainya. Lebih penting mana apel pagi atau memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Sementara dalam aturan PP. nomor 30 tahun 1980 tentang peraturan disiplin pegawai negeri sipil, tidak ada satupun pasal yang mewajibkan pegawai (PNS) mengikuti apel. Pelaksanaan apel lebih didasarkan atas kebijakan pimpinan semata. Masihkah anda mau mengikuti apel pagi senin besok……….

                                                                                                                   

Selasa, 21 Mei 2013

Hampir 3 tahun di Muara Enim



Untuk sebagian orang, terutama yang berprofesi sebagai pegawai atau karyawan, hari sabtu dan minggu merupakan hari yang cukup menyenangkan karena dianggap dapat terbebas dari kepenatan dan rutinitas pekerjaan dalam setiap pekannya. Tidak heran jika tempat-tempat wisata begitu ramai dikunjungi kalangan wisatawan dengan membawa serta keluarganya, bahkan banyak di antaranya yang pergi ke luar kota demi memperoleh nuansa liburan yang baru dan sangat mengesankan. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir masyarakat menemukan banyak pilihan tempat wisata, menyusul dibangunnya beberapa tujuan wisata baru dengan menawarkan berbagai sarana dan keunggulannya masing-masing.
Gambaran di atas ternyata hanya dapat dinikmati oleh mereka yang bertempat tinggal di daerah perkotaan atau berada di sekitar ibu kota provinsi, terutama sekali mereka yang tinggal di sekitar kota-kota besar di Indonesia. Masyarakat yang bertempat tinggal di lokasi yang jauh dengan pusat kota harus  mau bersabar dan menahan diri untuk dapat meluangkan waktu berkunjung ke daerah-daerah wisata yang letaknya relative jauh, karena harus memiliki waktu luang yang cukup serta biaya yang tidak sedikit. Mengingat sarana-dan pra sarana yang tidak memadai, terutama masalah akses dan sarana transportasi yang kurang mendukung.
Hal ini sudah saya alami sendiri bersama dengan keluarga. Tidak terasa sudah hampir 3 tahun kami bertempat tinggal di Muara Enim, Sumatera Selatan. Sebuah daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang begitu melimpah, semisal batu bara, Minyak bumi, panas bumi serta kekayaan alam lainnya. Beberapa diantaranya dikelola oleh perusahaan BUMN seperti PT. Bukit Asam yang mengelola batu bara, PERTAMINA yang bergerak di bidang eksplorasi minyak. Sedangkan sebagian besar masyarakatnya lebih banyak bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit dan karet.
Walaupun merupakan daerah yang cukup besar pendapatan asli daerahnya, sarana dan prasarana yang dimiliki oleh masyrakat dan pemerintah daerah kabupaten Muara Enim dirasakan masih kurang terutama sarana olah raga, sarana pariwisata  serta sarana pendukung lainnya. Sehingga tidak mengherankan jika banyak yang  memilih bertempat tinggal di Kota Palembang walaupun aktifitas rutinnya berada di Muara Enim. Mereka berangkat Minggu malam dari Palembang menuju Muara Enim dan pulang kembali ke Palembang pada Jumat sore, masyarakat mengistilahkannya dengan pegawai PJKA (pulang jumat kembali ahad).
Setiap memasuki hari sabtu dan minggu kami lebih sering menghabiskan waktu di rumah bersama keluarga. Mengingat tidak ada tempat atau daerah yang bisa dijadikan tujuan bermain mengisi liburan akhir pekan. Jika mau berlibur ke kota Palembang setidaknya harus memiliki waktu yang cukup luang, setidaknya kita harus menginap satu malam, serta disesuaikan dengan jadwal liburan sekolah.
Seperti saat ini saya mengisi liburan akhir pekan dengan mengisi blog yang belum lama ini saya buat sambil berharap tidak lama lagi keluar pengumuman mutasi atas nama saya ke tempat yang lebih dekat dengan rumah tinggal, lebih baik serta penuh keberkahan….semoga…

Kamis, 16 Mei 2013

KORBAN TABAYUN




Selepas melaksanakan shalat shubuh, Siska (bukan nama sebenarnya) sudah bergegas menaiki mobil yang disewa dan sudah disiapkan beberapa hari sebelumnya untuk menghadiri persidangan ke dua di Pengadilan Agama Muara Enim yang jaraknya cukup jauh dan harus ditempuh minimal 3 jam perjalanan. Bersama orang tua dan tetangga terdekatnya, Siska rela meninggalkan aktifitasnya sebagai penadah karet yang sudah lama digelutinya untuk memperoleh kepastian hukum perihal status pernikahannya yang kandas setelah berjalan selama kurang lebih 10 tahun lamanya. Sudah 2 tahun terakhir ini Siska menjalani kehidupan rumah tangganya bersama kedua anaknya tanpa kehadiran suami sekaligus ayah dari kedua anaknya. Sang Suami pergi meninggalkan istri dan kedua anaknya dan saat ini menetap di tempat tinggal orang tuanya di Sebuah kabupaten kecil di wilayah Provinsi Lampung bagian Utara.
Kedatangan Siska saat ini untuk yang ketiga kalinya, 2 bulan sebelumnya Siska baru bisa mengajukan gugatan cerai sekaligus mendaftarkannya di Pengadilan Agama Muara Enim. Sidang pertama dilaksanakan sekitar sebulan sejak pendaftaran gugatannya, mengingat domisili suami (Tergugat) berada di luar yurisdiksi Pengadilan Agama Muara Enim. Persidangan pertama ditunda selama 1 bulan untuk memanggil Tergugat yang saat itu tidak hadir di persidangan, "sebagai persiapan untuk persidangan yang akan datang saudara siapkan 2 orang saksi yang dapat didengar kesaksiannya untuk menguatkan dalil gugatan saudara" demikian saran Majelis Hakim sesaat sebelum Siska keluar dari ruang sidang pada persidangan pertama.
Dengan raut muka yang seolah tidak ada beban yang dihadapi, Siska berjalan santai memasuki ruang sidang setelah mendengar petugas yang memanggil dirinya untuk memasuki ruang sidang. Siska berharap persidangan kali ini merupakan persidangan terakhir, mengingat sudah banyak menyita waktu dan tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan di luar biaya perkara, setidaknya untuk biaya transportasi dan konsumsi selama seharian penuh. Bahkan dikarenakan sarana dan prasana yang kurang memadai, Siska harus menyewa mobil untuk setiap kali datang ke pengadilan. Bisa dibayangkan berapa rupiah yang harus keluar dari kantongnya untuk memperoleh kepastian hukum status pernikahannya. Sementara suaminya tidak pernah lagi peduli dan perhatian terhadap kehidupan rumah tangganya.
Untuk kedua kalinya pihak Tergugat tidak hadir lagi di persidangan, sementara Siska tidak bergeming dan tetap bersikukuh untuk melanjutkan pemeriksaan perkaranya, walaupun dalam setiap persidangan Majelis Hakim telah memberikan saran dan nasehat kepada Siska untuk dapat rukun kembali menjalin bahtera rumah tangga Siska bersama Tergugat. Namun saran dan nasehat majlis hakim tidak menyurutkan langkahnya untuk mengakhiri rumah tangganya bersama Tergugat. " Hari ini mau cerai, besok, lusa dan sampai kapanpun saya tetap mau cerai" demikian Siska mengaskan tekadnya kepada majelis hakim.
Siska berharap dalam persidangan yang kedua ini, keinginannya untuk mengakhiri rumah tangganya selesai dengan baik dan tuntas. Namun ternyata keinginan dan harapan tersebut tidak bisa diperolehnya, Majelis Hakim malah menunda persidangan selama 1 bulan. "Petugas kami sudah mengirimkan surat permohonan bantuan untuk memanggil Tergugat hadir di persidangan, namun sangat disayangkan sampai saat ini kami belum menerima dan memperoleh surat Panggilan tersebut, sehingga dengan terpaksa pemeriksaan perkara ini kami tunda." demikian penjelasan ketua majelis hakim saat itu.
Raut muka siska mendadak terlihat murung dan sedih setelah mendengar penjelasan Majelis Hakim, beberapa kali Siska menarik nafas dalam-dalam seolah tak percaya dengan penjelasan majelis hakim dan proses persidangan yang dijalaninya.
Siska kembali dihadapkan dengan beban yang begitu berat. Betapa tidak, sebagai seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari berprofesi sebagai buruh tani, ia harus menyiapkan banyak waktu, fikiran, tenaga serta biaya yang tidak sedikit untuk mengikuti proses persidangan. Siska harus merogoh kantongnya dalam-dalam untuk membayar sewa sebuah mobil minimal Rp.600.000,-, mengingat sarana transportasi dari dan menuju Pengadilan sangat sulit, tidak seperti sarana transportasi yang ada di kota atau daerah-daerah lainnya, selain itu Biaya konsusi sedikitnya Rp.200.000,- untuk dirinya bersama saksi tetangga dan orang tuanya. Belum lagi kerugian materi lainnya, selama sehari itu dia tidak bisa pergi ke kebun, sehingga upahnya sebagai buruh di sebuah perkebunan karet sudah pasti berkurang, padahal itulah satu-satunya penghasilan utama Siska yang hanya lulus sekolah mengah tingkat pertama . Sempat terlintas dalam benaknya untuk tidak datang kembali mengikuti proses persidangan yang telah menyita banyak waktu dan biaya tersebut.
Bisa jadi kisah di atas tidak hanya dialami Siska saja, masih banyak Siska-Siska lain yang tersebar di seluruh pelosok nusantara mengalami hal yang serupa dengan yang telah dialami Siska. Pertanyaannya adalah bagaimana prosedur baku pengadilan dalam memberikan pendelegasian panggilan kepada pengadilan yang berada di wilayah tempat tinggal tergugat. Dan seandainya pelaksana pemanggilan adalah justeru orang menjadi “korban” dari relaas tabayun, pernahkah ia berempati dengan nasib Siska tadi?.
Selama ini proses permohonan bantuan atau pendelegasian panggilan dan dikenal dengan istilah tabayun menggunakan cara-cara konvensional dengan memakai jasa pengiriman surat yang disediakan kantor pos atau perusahaan sejenis lainnya serta jasa surat wesel sebagai instrumen pengiriman uang. Padahal saat ini sudah banyak masyarakat yang menggunakan surat elektronik dengan menggunakan email untuk kemudahan serta kecepatan dalam surat menyurat serta jasa transfer baik melalui ATM ataupun Bank untuk jasa pengiriman uang. Sehingga tidak berlebihan jika Majelis Hakim menunda persidangan selama 1 bulan atau lebih. Sementara di sisi lain kita sudah banyak berjibaku dengan bantuan IT semisal website dan SIADPA PLUS yang beberapa tahun terakhir menjadi trend di lingkungan peradilan agama.
Sumberdaya IT yang dimiliki oleh Pengadilan Agama tidak hanya dapat dimanfaatkan untuk menunjukkan wajahnya dalam dunia maya, yang secara normatif telah diatur dalam surat edaran mengenai konten website yang telah ditetapkan, tetapi juga dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan Tupoksi yang selama ini telah diberdayakan melalui aplikasi SIADPA yang telah online database-nya melalui portal infoperkara.net.
Sejak launching portal infoperkara.net, penulis memantau telah beberapa kali dilakukan perbaikan dan penyesuaian. Yang menarik dari menu portal ini adalah adanya menu pendelegasian panggilan, namun sayangnya sampai saat ini  -terakhir penulis akses menu ini tanggal 13 Mei 2013- masih dalam keadaan tidak aktif. Tidak terdapat penjelasan yang penulis temui mengenai hal ini, apakah karena kendala teknis atau kebijakan semata. Wallahu a'lam.........