Kamis, 16 Mei 2013

KORBAN TABAYUN




Selepas melaksanakan shalat shubuh, Siska (bukan nama sebenarnya) sudah bergegas menaiki mobil yang disewa dan sudah disiapkan beberapa hari sebelumnya untuk menghadiri persidangan ke dua di Pengadilan Agama Muara Enim yang jaraknya cukup jauh dan harus ditempuh minimal 3 jam perjalanan. Bersama orang tua dan tetangga terdekatnya, Siska rela meninggalkan aktifitasnya sebagai penadah karet yang sudah lama digelutinya untuk memperoleh kepastian hukum perihal status pernikahannya yang kandas setelah berjalan selama kurang lebih 10 tahun lamanya. Sudah 2 tahun terakhir ini Siska menjalani kehidupan rumah tangganya bersama kedua anaknya tanpa kehadiran suami sekaligus ayah dari kedua anaknya. Sang Suami pergi meninggalkan istri dan kedua anaknya dan saat ini menetap di tempat tinggal orang tuanya di Sebuah kabupaten kecil di wilayah Provinsi Lampung bagian Utara.
Kedatangan Siska saat ini untuk yang ketiga kalinya, 2 bulan sebelumnya Siska baru bisa mengajukan gugatan cerai sekaligus mendaftarkannya di Pengadilan Agama Muara Enim. Sidang pertama dilaksanakan sekitar sebulan sejak pendaftaran gugatannya, mengingat domisili suami (Tergugat) berada di luar yurisdiksi Pengadilan Agama Muara Enim. Persidangan pertama ditunda selama 1 bulan untuk memanggil Tergugat yang saat itu tidak hadir di persidangan, "sebagai persiapan untuk persidangan yang akan datang saudara siapkan 2 orang saksi yang dapat didengar kesaksiannya untuk menguatkan dalil gugatan saudara" demikian saran Majelis Hakim sesaat sebelum Siska keluar dari ruang sidang pada persidangan pertama.
Dengan raut muka yang seolah tidak ada beban yang dihadapi, Siska berjalan santai memasuki ruang sidang setelah mendengar petugas yang memanggil dirinya untuk memasuki ruang sidang. Siska berharap persidangan kali ini merupakan persidangan terakhir, mengingat sudah banyak menyita waktu dan tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan di luar biaya perkara, setidaknya untuk biaya transportasi dan konsumsi selama seharian penuh. Bahkan dikarenakan sarana dan prasana yang kurang memadai, Siska harus menyewa mobil untuk setiap kali datang ke pengadilan. Bisa dibayangkan berapa rupiah yang harus keluar dari kantongnya untuk memperoleh kepastian hukum status pernikahannya. Sementara suaminya tidak pernah lagi peduli dan perhatian terhadap kehidupan rumah tangganya.
Untuk kedua kalinya pihak Tergugat tidak hadir lagi di persidangan, sementara Siska tidak bergeming dan tetap bersikukuh untuk melanjutkan pemeriksaan perkaranya, walaupun dalam setiap persidangan Majelis Hakim telah memberikan saran dan nasehat kepada Siska untuk dapat rukun kembali menjalin bahtera rumah tangga Siska bersama Tergugat. Namun saran dan nasehat majlis hakim tidak menyurutkan langkahnya untuk mengakhiri rumah tangganya bersama Tergugat. " Hari ini mau cerai, besok, lusa dan sampai kapanpun saya tetap mau cerai" demikian Siska mengaskan tekadnya kepada majelis hakim.
Siska berharap dalam persidangan yang kedua ini, keinginannya untuk mengakhiri rumah tangganya selesai dengan baik dan tuntas. Namun ternyata keinginan dan harapan tersebut tidak bisa diperolehnya, Majelis Hakim malah menunda persidangan selama 1 bulan. "Petugas kami sudah mengirimkan surat permohonan bantuan untuk memanggil Tergugat hadir di persidangan, namun sangat disayangkan sampai saat ini kami belum menerima dan memperoleh surat Panggilan tersebut, sehingga dengan terpaksa pemeriksaan perkara ini kami tunda." demikian penjelasan ketua majelis hakim saat itu.
Raut muka siska mendadak terlihat murung dan sedih setelah mendengar penjelasan Majelis Hakim, beberapa kali Siska menarik nafas dalam-dalam seolah tak percaya dengan penjelasan majelis hakim dan proses persidangan yang dijalaninya.
Siska kembali dihadapkan dengan beban yang begitu berat. Betapa tidak, sebagai seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari berprofesi sebagai buruh tani, ia harus menyiapkan banyak waktu, fikiran, tenaga serta biaya yang tidak sedikit untuk mengikuti proses persidangan. Siska harus merogoh kantongnya dalam-dalam untuk membayar sewa sebuah mobil minimal Rp.600.000,-, mengingat sarana transportasi dari dan menuju Pengadilan sangat sulit, tidak seperti sarana transportasi yang ada di kota atau daerah-daerah lainnya, selain itu Biaya konsusi sedikitnya Rp.200.000,- untuk dirinya bersama saksi tetangga dan orang tuanya. Belum lagi kerugian materi lainnya, selama sehari itu dia tidak bisa pergi ke kebun, sehingga upahnya sebagai buruh di sebuah perkebunan karet sudah pasti berkurang, padahal itulah satu-satunya penghasilan utama Siska yang hanya lulus sekolah mengah tingkat pertama . Sempat terlintas dalam benaknya untuk tidak datang kembali mengikuti proses persidangan yang telah menyita banyak waktu dan biaya tersebut.
Bisa jadi kisah di atas tidak hanya dialami Siska saja, masih banyak Siska-Siska lain yang tersebar di seluruh pelosok nusantara mengalami hal yang serupa dengan yang telah dialami Siska. Pertanyaannya adalah bagaimana prosedur baku pengadilan dalam memberikan pendelegasian panggilan kepada pengadilan yang berada di wilayah tempat tinggal tergugat. Dan seandainya pelaksana pemanggilan adalah justeru orang menjadi “korban” dari relaas tabayun, pernahkah ia berempati dengan nasib Siska tadi?.
Selama ini proses permohonan bantuan atau pendelegasian panggilan dan dikenal dengan istilah tabayun menggunakan cara-cara konvensional dengan memakai jasa pengiriman surat yang disediakan kantor pos atau perusahaan sejenis lainnya serta jasa surat wesel sebagai instrumen pengiriman uang. Padahal saat ini sudah banyak masyarakat yang menggunakan surat elektronik dengan menggunakan email untuk kemudahan serta kecepatan dalam surat menyurat serta jasa transfer baik melalui ATM ataupun Bank untuk jasa pengiriman uang. Sehingga tidak berlebihan jika Majelis Hakim menunda persidangan selama 1 bulan atau lebih. Sementara di sisi lain kita sudah banyak berjibaku dengan bantuan IT semisal website dan SIADPA PLUS yang beberapa tahun terakhir menjadi trend di lingkungan peradilan agama.
Sumberdaya IT yang dimiliki oleh Pengadilan Agama tidak hanya dapat dimanfaatkan untuk menunjukkan wajahnya dalam dunia maya, yang secara normatif telah diatur dalam surat edaran mengenai konten website yang telah ditetapkan, tetapi juga dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan Tupoksi yang selama ini telah diberdayakan melalui aplikasi SIADPA yang telah online database-nya melalui portal infoperkara.net.
Sejak launching portal infoperkara.net, penulis memantau telah beberapa kali dilakukan perbaikan dan penyesuaian. Yang menarik dari menu portal ini adalah adanya menu pendelegasian panggilan, namun sayangnya sampai saat ini  -terakhir penulis akses menu ini tanggal 13 Mei 2013- masih dalam keadaan tidak aktif. Tidak terdapat penjelasan yang penulis temui mengenai hal ini, apakah karena kendala teknis atau kebijakan semata. Wallahu a'lam.........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar