Selepas melaksanakan shalat shubuh,
Siska (bukan nama sebenarnya) sudah bergegas menaiki mobil yang disewa dan
sudah disiapkan beberapa hari sebelumnya untuk menghadiri persidangan ke dua di
Pengadilan Agama Muara Enim yang jaraknya cukup jauh dan harus ditempuh minimal
3 jam perjalanan. Bersama orang tua dan tetangga terdekatnya, Siska rela
meninggalkan aktifitasnya sebagai penadah karet yang sudah lama digelutinya
untuk memperoleh kepastian hukum perihal status pernikahannya yang kandas
setelah berjalan selama kurang lebih 10 tahun lamanya. Sudah 2 tahun terakhir
ini Siska menjalani kehidupan rumah tangganya bersama kedua anaknya tanpa
kehadiran suami sekaligus ayah dari kedua anaknya. Sang Suami pergi
meninggalkan istri dan kedua anaknya dan saat ini menetap di tempat tinggal
orang tuanya di Sebuah kabupaten kecil di wilayah Provinsi Lampung bagian
Utara.
Kedatangan Siska saat ini untuk
yang ketiga kalinya, 2 bulan sebelumnya Siska baru bisa mengajukan gugatan
cerai sekaligus mendaftarkannya di Pengadilan Agama Muara Enim. Sidang pertama
dilaksanakan sekitar sebulan sejak pendaftaran gugatannya, mengingat domisili
suami (Tergugat) berada di luar yurisdiksi Pengadilan Agama Muara Enim.
Persidangan pertama ditunda selama 1 bulan untuk memanggil Tergugat yang saat
itu tidak hadir di persidangan, "sebagai persiapan untuk persidangan yang
akan datang saudara siapkan 2 orang saksi yang dapat didengar kesaksiannya
untuk menguatkan dalil gugatan saudara" demikian saran Majelis Hakim
sesaat sebelum Siska keluar dari ruang sidang pada persidangan pertama.
Dengan raut muka yang seolah tidak
ada beban yang dihadapi, Siska berjalan santai memasuki ruang sidang setelah
mendengar petugas yang memanggil dirinya untuk memasuki ruang sidang. Siska
berharap persidangan kali ini merupakan persidangan terakhir, mengingat sudah
banyak menyita waktu dan tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan di luar
biaya perkara, setidaknya untuk biaya transportasi dan konsumsi selama seharian
penuh. Bahkan dikarenakan sarana dan prasana yang kurang memadai, Siska harus
menyewa mobil untuk setiap kali datang ke pengadilan. Bisa dibayangkan berapa
rupiah yang harus keluar dari kantongnya untuk memperoleh kepastian hukum status
pernikahannya. Sementara suaminya tidak pernah lagi peduli dan perhatian
terhadap kehidupan rumah tangganya.
Untuk kedua kalinya pihak Tergugat
tidak hadir lagi di persidangan, sementara Siska tidak bergeming dan tetap
bersikukuh untuk melanjutkan pemeriksaan perkaranya, walaupun dalam setiap
persidangan Majelis Hakim telah memberikan saran dan nasehat kepada Siska untuk
dapat rukun kembali menjalin bahtera rumah tangga Siska bersama Tergugat. Namun
saran dan nasehat majlis hakim tidak menyurutkan langkahnya untuk mengakhiri
rumah tangganya bersama Tergugat. " Hari ini mau cerai, besok, lusa dan
sampai kapanpun saya tetap mau cerai" demikian Siska mengaskan tekadnya
kepada majelis hakim.
Siska berharap dalam persidangan
yang kedua ini, keinginannya untuk mengakhiri rumah tangganya selesai dengan
baik dan tuntas. Namun ternyata keinginan dan harapan tersebut tidak bisa
diperolehnya, Majelis Hakim malah menunda persidangan selama 1 bulan. "Petugas
kami sudah mengirimkan surat permohonan bantuan untuk memanggil Tergugat hadir
di persidangan, namun sangat disayangkan sampai saat ini kami belum menerima
dan memperoleh surat Panggilan tersebut, sehingga dengan terpaksa pemeriksaan
perkara ini kami tunda." demikian penjelasan ketua majelis hakim saat itu.
Raut muka siska mendadak terlihat
murung dan sedih setelah mendengar penjelasan Majelis Hakim, beberapa kali Siska
menarik nafas dalam-dalam seolah tak percaya dengan penjelasan majelis hakim
dan proses persidangan yang dijalaninya.
Siska kembali dihadapkan dengan
beban yang begitu berat. Betapa tidak, sebagai seorang ibu rumah tangga yang
sehari-hari berprofesi sebagai buruh tani, ia harus menyiapkan banyak waktu,
fikiran, tenaga serta biaya yang tidak sedikit untuk mengikuti proses
persidangan. Siska harus merogoh kantongnya dalam-dalam untuk membayar sewa
sebuah mobil minimal Rp.600.000,-, mengingat sarana transportasi dari dan
menuju Pengadilan sangat sulit, tidak seperti sarana transportasi yang ada di
kota atau daerah-daerah lainnya, selain itu Biaya konsusi sedikitnya Rp.200.000,-
untuk dirinya bersama saksi tetangga dan orang tuanya. Belum lagi kerugian
materi lainnya, selama sehari itu dia tidak bisa pergi ke kebun, sehingga
upahnya sebagai buruh di sebuah perkebunan karet sudah pasti berkurang, padahal
itulah satu-satunya penghasilan utama Siska yang hanya lulus sekolah mengah
tingkat pertama . Sempat terlintas dalam benaknya untuk tidak datang kembali
mengikuti proses persidangan yang telah menyita banyak waktu dan biaya
tersebut.
Bisa jadi kisah di atas tidak hanya
dialami Siska saja, masih banyak Siska-Siska lain yang tersebar di seluruh pelosok
nusantara mengalami hal yang serupa dengan yang telah dialami Siska.
Pertanyaannya adalah bagaimana prosedur baku pengadilan dalam memberikan
pendelegasian panggilan kepada pengadilan yang berada di wilayah tempat tinggal
tergugat. Dan seandainya pelaksana pemanggilan adalah justeru orang menjadi “korban”
dari relaas tabayun, pernahkah ia berempati dengan nasib Siska tadi?.
Selama ini proses permohonan
bantuan atau pendelegasian panggilan dan dikenal dengan istilah tabayun
menggunakan cara-cara konvensional dengan memakai jasa pengiriman surat yang
disediakan kantor pos atau perusahaan sejenis lainnya serta jasa surat wesel
sebagai instrumen pengiriman uang. Padahal saat ini sudah banyak masyarakat
yang menggunakan surat elektronik dengan menggunakan email untuk kemudahan serta kecepatan dalam surat menyurat serta
jasa transfer baik melalui ATM ataupun Bank untuk jasa pengiriman uang. Sehingga
tidak berlebihan jika Majelis Hakim menunda persidangan selama 1 bulan atau
lebih. Sementara di sisi lain kita sudah banyak berjibaku dengan bantuan IT
semisal website dan SIADPA PLUS yang beberapa tahun terakhir menjadi trend di
lingkungan peradilan agama.
Sumberdaya IT yang dimiliki oleh
Pengadilan Agama tidak hanya dapat dimanfaatkan untuk menunjukkan wajahnya
dalam dunia maya, yang secara normatif telah diatur dalam surat edaran mengenai
konten website yang telah ditetapkan, tetapi juga dapat digunakan untuk
meningkatkan pelayanan Tupoksi yang selama ini telah diberdayakan melalui
aplikasi SIADPA yang telah online database-nya melalui portal
infoperkara.net.
Sejak launching portal infoperkara.net, penulis memantau telah beberapa
kali dilakukan perbaikan dan penyesuaian. Yang menarik dari menu portal ini adalah
adanya menu pendelegasian panggilan, namun sayangnya sampai saat ini -terakhir
penulis akses menu ini tanggal 13 Mei 2013- masih dalam keadaan tidak
aktif. Tidak terdapat penjelasan yang penulis temui mengenai hal ini, apakah
karena kendala teknis atau kebijakan semata. Wallahu a'lam.........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar